“ Ma, aku ingin pakai lipstik dan rok kaya
mama”, kata dion kepada mamanya.
Lantaran Dion sang anak laki laki yang baru berusia 2,5 tahun ini sering
mengamati perilaku sehari hari mamanya saat berdandan.
Pada usia
batita penting baginya untuk mengenali dan menemukan identitas jenis kelaminnya
(gender identity) untuk memperjelas
siapa dirinya apakah ia perempuan atau laki laki.” Kalau aku pakai rok kalau kamu pakai kemeja”. Sering kita dengan
obrolan dari para batita. Pemahaman ini akan terus menguat hingga dewasa
tentang identitas dan peran gender yang harus diembannya. Peran orang tua amat
penting bagi pembentukan identitas gender sehingga kelak tidak mendatangkan
kebingungan akan gendernya.
Bagaimana
agar orang tua dapat memperkuat perbedaan
gender lantaran secara kodrati berbeda dan perlakuan serta peran gender
dalam kehidupan adalah bersifat setara
kepada batita:
1.
“ Adek seperti papa saat lagi
liburan sering bantuin mama masak didapur,dan seperti mama sering bantu papa
saat membersihkan halaman rumah”. Dikarenakan batita lebih banyak belajar dari melihat, mendengar, merasa dan mengalami dari
lingkungan maka mama- papa, dalam menjalankan relasi hubungan suami istri
semestinya menghindari sok kuasa, overprotektif dan tidak saling menghargai
sehingga anak mendapatkan contoh langsung tentang kesetaraan hubungan ayah ibu
atau relasi perempuan –laki laki.
2. “Nggak apa apa kok kamu anak laki laki menangis karena bersedih, karena hamstermu
mati” . Tidak ada
yang tabu bagi anak laki laki menangis atau mengungkapkan perasaannya
dikarenakan untuk mengembangkan kemampuan mengelola emosi (EQ). Demikian juga
tidak ada salahnya anak perempuan boleh kok mengungkapkan kemampuan
“analisanya”, karena anak perempuan juga butuh berkembang kemampuan kognitifnya
(daya pikirnya). Sebagai manusia
seutuhnya anak batita perlu belajar kemampuan adaptif melalui pengelolaan yang
seimbang antara emosi dan kognisi.
3. “ Kalau mama memasak buat kita, karena mama suka memasak dan ayah suka
masakan mama”. Agar anak
tidak membeda bedakan profesi dari jenis kelamin seperti ayah
kekantor dan ibu masak kedapur sehingga pemahaman anak tentang profesi makin
luas sehingga profesi bukan ditentukan oleh kodrat jendernya. Demikian juga
ketika ibunya memilih menjalani profesi
diluar rumah seorang patut mendapatkan reinforcement, “lantaran ibu
harus mengamalkan ilmunya dan mengabdi pada negara ibu pergi kekantor”.
4. “Adek
boleh main sama kakak mobil mobilan dan masak masakan”. Tak ada kepastian atau keharusan bahwa setiap
mainan harus menjadi milik laki laki atau perempuan, atau stereotyping
gender terhadap jenis mainan dan peran
gendernya. Mengenalkan aneka mainan kepada anak akan memperkaya wawasan anak
tentang ragam peran yang kelak bisa dijalani dikarenakan mainan adalah simbol
imajinasi dari kegiatan mereka. Seluruh jenis mainan dan permainan dapat
dilakukan anak dengan pendampingan dan pengawasan orang tuanya.
5. “Adek,
kita ganti chanel yok”. Peran media televisi dengan ragam tayangan yang
bisa mengaburkan peran jender hanya akan membuat anak ambigu dan bingung
bagaimana menjadi laki –laki tau
perempuan sebagaimana mestinya. Batita kesulitan membedakan antara imajinasi
dan realita bahkan , mereka menganggap
tayangan yang hanya merupakan khayalan dianggap sebagai relita. Oleh karena itu
orang tua wajib memilih acara tayangan televisi dan mendampingi batita saat
acara berlangsung. Termasuk tidak dianjurkan membrikan game gadget pada mereka.
6.
“Tono bantu papa ambilkan obeng kecil dan besar, sementara Tini bersama mama siapkan makanan”. Peran orang tua merupakan sosok terdekat yang dijadikan role
model oleh anaksehingga dapat membantu
anak dalam mengidentifikasi peran jender, mengingat anak pada usia batita adalah
peniru yang baik (good imitator) . Anak butuh contoh bagaimana peran ayah dan
ibu yang baik sebagai lakilaki dan perempuan, anak butuh contoh kongkrit dari
perilaku ayah ibunya.Bersambung
Tidak ada komentar:
Posting Komentar